Menolak hadits-hadits shohih

Di antara bentuk pelecehan terhadap Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam adalah menolak sebagian hadits shahih yang sah dengan hujjah (argumen) yang lemah seperti menyelisihi akal, tidak sejalan dengan realita, tidak mungkin bisa diamalkan, enggan menerima hadits, men-ta’wil nash-nash untuk maksud itu, menolak hadits shohih dengan anggapan bahwa hadits tersebut adalah ahad -padahal sebagian besar hukum syar’i berasal dari hadits ahad-, atau mengklaim beramal dengan al-Qur’an saja dan meninggalkan selain itu. Perhatikanlah sabda Nabi Muhammad yang mulia -shallallahu ’alaihi wa sallam- berikut yang merupakan bantahan bagi Qur’aniyyun/Ingkarus Sunah -yang hanya mau beramal dengan al-Qur’an dan enggan beramal dengan selain al-Qur’an-.

لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ الْأَمْرُ مِنْ أَمْرِي مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُولُ لَا نَدْرِي مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللَّهِ اتَّبَعْنَاهُ

”Aku benar-benar mendapati salah seorang di antara kalian bertelekan di atas sofanya, datang kepadanya suatu dari urusan agamaku yang aku perintahkan atau aku larang, maka dia mengatakan,”Aku tidak tahu; apa yang kami dapati dari Kitabullah maka kami mengikutinya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) Jika mereka menyangka wajibnya umat Islam bersatu atas dasar al-Qur’an semata, maka Allah SWT Ta’ala mewajibkan dalam al-Qur’an untuk mengambil segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, baik secara global maupun secara terperinci. Allah SWT berfirman,

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr: 7) Dan sungguh Allah SWT telah menyebutkan supaya mentaati Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dalam al-Qur’an sebanyak 33 tempat. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ

”Ketahuilah bahwa aku diberi al-Qur’an dan semisalnya sekaligus.” (HR. Abu Daud, dishohihkan Al Albani dalam Shohih Abu Daud) Perhatikanlah perkataan Imam Syafi’i dan Imam Malik berikut ini.

Al Humaidi berkata, “Kami berada di sisi Imam Syafi’i –rahimahullah-. Lalu seorang laki-laki mendatangi beliau dan bertanya suatu masalah kepadanya. Imam Syafi’i berkata,“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memutuskan tentang perkara ini demikian dan demikian.“ Orang tersebut bertanya kepada Imam Syafi’i,“Bagaimana pendapat Anda?“ Beliau menjawab,”Subhanallah!! Apakah kamu melihatku berada di gereja! Apakah kamu melihatku dalam jual beli! Apakah kamu melihat di tengah-tengah tubuhku ada ikat pinggang?! Aku mengatakan padamu, ’Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah memutuskan perkara tersebut’ lantas kamu bertanya,”Bagaimana pendapat Anda?”
Imam Malik berkata,”Apakah setiap kali datang seseorang yang lebih pandai berdebat daripada selainnya, maka kita meninggalkan apa yang diturunkan Jibril kepada Muhammad karena bantahannya?”
Beliau juga berkata,”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan para pemimpin sesudahnya telah menetapkan berbagai sunah. Mengambilnya berarti membenarkan Kitabullah, menyempurnakan ketaatan kepada Allah SWT SWT, dan menguatkan agama Allah. Barangsiapa mengamalkannya maka ia akan mendapat petunjuk, barangsiapa membelanya maka ia akan ditolong, dan barangsiapa menyelisihinya maka ia telah mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman dan Allah SWT pasti memalingkannya dari jalan yang benar.”

Betapa banyaknya para peleceh sunah (menentang Al Qur’an dan hadits-hadits shohih) di zaman kita ini. Lebih ngerinya mereka itu bukanlah orang-orang kafir, namun mereka adalah para intelektual muslim, bahkan merupakan produk dari Universitas Islam di negeri ini.



Jauh dari Ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik lahir maupun batin

Jauh dari ajaran nabi Muhammad secara batin yaitu dengan berubahnya suatu peribadatan menjadi adapt (kebiasaan), lalai untuk meraih pahala dari Allah SWT SWT, atau tidak mengikuti, mengagungkan, dan mencintai dengan hati yang ikhlas kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melupakan ajaran beliau dan tidak mempelajari atau membahasnya, tidak menghormati sunah, dan meremehkannya secara batin. Sedangkan jauh dari ajaran nabi Muhammad secara zhohir (lahir) adalah dengan meninggalkan amalan sunah yang zhohir baik yang wajib atau mustahab (dianjurkan).

Sebagai contoh adalah sunah i’tiqod (keyakinan), menjauhi bid’ah dan pelakunya bahkan mengucilkan mereka. Atau sunah mu’akkad seperti sunah makan, berpakaian, shalat rawatib, witir, dua raka’at Dhuha, sunah manasik dalam haji dan umroh, sunah yang berkaitan dengan shaum (puasa) dalam waktu dan tempat. Sunah-sunah seperti ini pada sebagian manusia hanya sebagai sampingan saja –kita memohon pada Allah SWT agar dijauhkan dari bentuk pelecahan semacam ini-. Demi Allah SWT SWT, hati seorang hamba tidak akan lurus sehingga dia mengagungkan, memelihara, dan mengamalkan sunah.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Barangsiapa membenci sunahku, maka ia bukan golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perhatikanlah perkataan Ubay bin Ka’ab berikut ini, ”Berpegang teguhlah pada sunah. Tidaklah seorang hamba berada di atas sunah dalam keadaan mengingat Allah SWT SWT, lalu kulitnya merinding karena rasa takut kepada-Nya, melainkan dosa-dosanya akan berguguran sebagaimana daun kering berguguran dari pohonnya. Dan tidaklah seorang hamba berada di atas sunah sedang mengingat Allah SWT dalam keadaan bersendirian, lalu kedua matanya meneteskan air mata karena takut kepada-Nya, melainkan api neraka tidak akan menjamahnya selamanya. Mencukupkan diri dengan sunah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah (perkara yang menyelisihi sunah). Oleh karena itu, berusahalah agar amalan kalian, baik yang ringan maupun yang berat, berdasarkan manhaj dan sunah para nabi.” (Abu Nu’aim dalam al-Hilyah; Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis)

Membuat bid’ah dalam agama

Pelecehan ini semakin parah, ketika seseorang menjauhi syari’at menuju perilaku bid’ah dalam agama dan menyerupai keadaan orang-orang yang suka mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan berupa:

• mengagungkan tokoh-tokoh tarekat dan mengangkat mereka pada derajat para Nabi, karena mereka memiliki amalan-amalan setan yang dikira sebagai hal yang luar biasa

• ghuluw (berlebih-lebihan) kepada orang-orang yang dianggap sebagai wali, memuji-muji mereka secara berlebih-lebihan semasa hidup mereka dan dianggap suci setelah kematian mereka

• berdoa kepada selain Allah SWT SWT, bernadzar untuk mereka, menyembelih kurban dengan menyebut nama mereka, thawaf di sekitar kubur mereka, atau membangun suatu bangunan di atasnya.

Ini semua adalah syirik yang Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam diutus untuk melenyapkan dan menghancurkannya serta menegakkan bangunan tauhid di bumi dan di hati. Lalu Allah SWT menegakkan agama-Nya, menolong hamba-Nya, dan membela tentara-Nya yang beriman. Allah SWT memantapkan mata hati kaum beriman untuk menghilangkan rambu-rambu kesyirikan dan berhala-berhala jahiliyyah, ketika Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam menghancurkan berhala-berhala itu dengan tangannya. Allah SWT berfirman,

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا

“Dan katakanlah: Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Al Isra’: 81) Tidak samar lagi bagi orang yang berakal yang akalnya dibimbing oleh cahaya syari’at, bahwa thawaf di sekitar kubur, beri’tikaf di sisinya, meminta pada orang yang sudah mati untuk memenuhi hajatnya dan menyembuhkan orang sakit, atau meminta Allah SWT lewat perantaraan mereka atau kedudukan mereka, adalah termasuk perkara yang diada-adakan dalam agama (alias bid’ah, peny), dan bahwa thawaf yang sesuai syari’at hanyalah di sekitar Ka’bah, serta manfaat dan mudharat hanyalah milik Allah SWT semata, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, as-Sunah, dan ijma’. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak dapat memberikan manfaat atau mudharat (bahaya), sebagaimana yang Allah SWT sebutkan dalam surat al-Jin,

قُلْ إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا (21) قُلْ إِنِّي لَنْ يُجِيرَنِي مِنَ اللَّهِ أَحَدٌ وَلَنْ أَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا (22) إِلَّا بَلَاغًا مِنَ اللَّهِ وَرِسَالَاتِهِ

“Katakanlah: Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan. Katakanlah: Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorangpun dapat melindungiku dari (azab) Allah SWT dan sekali-kali aku tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya. Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah SWT dan risalah-Nya.” (Al-Jin: 21-23) Ini Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam, lalu bagaimana halnya dengan selain beliau?! Inilah yang membedakan orang beriman dan selainnya. Setiap orang yang memberikan pengagungan kepada makhluk, maka sesungguhnya dia telah mengurangi keagungan Sang Pencipta dan setiap yang merendah diri pada makhluk, maka dia telah lemah dan bodoh. Ini adalah kehinaan yang sangat jelas.

Ghuluw (berlebih-lebihan) kepada Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam

Di antara bentuk pelecehan –yang menyakiti Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam dan menyelisishi petunjuk dan dakwahnya, bahkan menyelisihi prinsip tauhid yang Allah SWT utus beliau dengannya- adalah GHULUW (berlebih-lebihan) kepada Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam dan mengangkatnya melebihi kedudukan Nabi Muhammad serta meyakini bahwa beliau mengetahui ilmu ghaib, atau berdo’a kepada beliau, atau bersumpah dengan nama beliau. Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam pernah mengkhawatirkan terjadinya hal ini. Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pernah mengatakan di saat sakit menjelang kematian beliau,

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

”Janganlah kalian memujiku secara berlebihan sebagaimana kaum Nashrani memuji secara berlebihan terhadap Isa –putera Maryam-. Tetapi katakanlah,’Aku hamba Allah SWT dan utusannya’.” (HR. Bukhari) Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga memperingatkan umatnya agar tidak menjadikan kuburnya sebagai perayaan dan tempat kunjungan. Beliau bersabda,

لَا تَجْعَلُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا وَ صَلُّوْا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ

”Janganlah menjadikan kuburku sebagai perayaan, tetapi bershalawatlah kepadaku, karena shalawat kalian sampai kepadaku di mana pun kalian berada.” (HR. Abu Daud, dishahihkan al-Albani dalam Ghayah al-Maram) Bahkan untuk menjauhkan dari sikap berlebih-lebihan kepadanya, sampai-sampai beliau melaknat orang-orang yang menjadikan kubur-kubur para nabi Muhammad sebagai tempat-tempat ibadah. Beliau bersabda,

لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Semoga Allah SWT melaknat kaum Yahudi dan Nashrani. Mereka telah menjadikan kubur-kubur para nabi Muhammad mereka sebagai tempat ibadah.” (HR. Bukhari & Muslim) Semoga kita tidak menjadi orang yang melecehkan beliau shallallahu alaihi wa sallam.

Rujukan: Huququn Nabi Muhammad bainal Ijlal wal Ikhlal, hal.20-32.